Tuesday, May 29, 2012

Hukum Ekonomi Islam

Dasar Hukum Ekonomi Islam
 
Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang menyoroti masalah perekonomian, sama seperti konsep ekonomi konvensional lainnya. Hanya, dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai islam menjadi landasan dan dasar dalam setiap aktivitasnya.

Dari pemahaman ekonomi islam ini, menunjukan bahwa sistem ekonomi ini bukan hanya ditunjukan bagi umat islam saja. Sebab, semua umat manusia bisa dan berhak untuk menggunakan konsep yang ada dalam sistem ekonomi berbasis ajaran islam tersebut.

Jika diurai, ekonomi islam ini berasal dari ajaran yang terdapat dalam Al-Qur'an. Para ahli ekonomi islamlah yang kemudian menerjemahkan dan menciptakan aplikasinya bagi kehidupan masyarakat. Beberapa tokoh ekonomi islam di antaranya adalah Abu Yusuf. Abu Yusuf adalah seorang tokoh ekonomi di bidang keuangan umum dengan menghasilkan gagasan entang peranan negara. pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang masih berlaku hingga sekarang.

Tokoh ekonomi islam lainnya adalah Ibnu Taimiya yang memaparkan tentang konsep harga ekuivalen. Tusi, mengembangkan gagasan tentang pentingnya nilai pertukaran, pembagian kerja dan kesejahteraan rakyat. Dan yang paling terkenal, Ibnu Khaldun yang ditasbihkan sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Sosial dunia, memberikan definisi tentang ilmu ekonomi yang lebih luas.

Dasar Hukum Ekonomi Islam

Sebuah ilmu tentu memiliki landasan hukum agar bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari konsep pengetahuan, demikian pula dengan ekonomi islam. Ada beberapa dasar hukum yang menjadi landasan pemikiran dan penentuan konsep ekonomi islam.

Beberapa dasar hukum Islam tersebut diantaranya adalah:
  1. Al Qur'an. Ini merupakan dasar hukum utama konsep ekonomi islam, karena Al Qur'an merupakan ilmu pengetahuan yang berasal langsung dari Allah. Beberapa ayat dalam Al Qur'an merujuk pada perintah manusia untuk mengembangkan sistem ekonomi yang bersumber pada hukum islam. Diantaranya terdapat pada QS. Fuskilat:42, QS. Az Zumar:27, QS. Al Hasy:22
  2. Hadist dan Sunnah. pengertian hadist dan sunnah adalah sebuah perilaku Nabi yang tidak diwajibkan dilakukan manusia, namun apabila mengerjakan apa yang dilakukan Nabi Muhammad maka manusia akan mendapatkan pahala. Keduanya dijadikan dasar hukum ekonomi islam mengingat Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pedagang yang sangat layak untuk dijadikan panutan pelaku ekonomi modern.
  3. Ijma', yaitu sebuah prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat adanya perkembangan jaman. Ijma' adalah konsensus baik dari masyarakat maupun cendikiawan agama, dengan berdasar pada Al Qur'an sebagai sumber hukum utama.
  4. Ijtihad atau Qiyas. Merupakan sebuah aktivitas dari para ahli agama untuk memecahkan masalah yang muncul di masyarakat, dimana masalah tersebut tidak tersebut secara rinci dalam hukum islam. Dengan merujuk beberapa ketentuan yang ada, maka Ijtihad berperan untuk membuat sebuah hukum yang bersifat aplikatif, dengan dasar Al Qur'an dan Hadist sebagai sumber hukum yang bersifat normatif.

Prinsip Hukum Ekonomi Islam


Dalam Hukum Ekonomi Islam, sebagai aturan yang ditetapkan syara’, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila sebuah interaksi antar sesama manusia yang berkaitan dengan harta dan kepemilikan akan dilakukan. Prinsip-prinsip ini mesti dijadikan sebagai ugeran (aturan) dalam melakukan aktivitas ekonomi.

Berdasar pada beberapa pendapat para fuqaha ketika mendeskripsikan fiqih al-mu’amalah (baca: Hukum Ekonomi Islam), maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu: 1. pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya, 2. aktivitas ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (’an taradlin), 3. kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahat dan menolak madharat (jalb  al-mashalih wa dar’u al-mafasid), dan 4. dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman, dan unsur lain yang diharapkan berdasarkan syara’.

Dalam prinsip pertama mengandung arti, hukum dari semua aktivitas ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau belum ditemukan nash – Al-Qur’an dan Al-Hadits – yang menyatakan keharamannya. Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan haram, maka pada saat itu pula akad mu’amalah tersebut menjadi terlarang berdasarkan syara’. Prinsip Hukum Ekonomi Islam ini sebenarnya mengacu pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an secara substansi berbicara tentang masalah ini terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” Sedangkan Al-Hadits yang berkaitan dengan prinsip ini adalah hadits yang diterima Salman Al-Farisi yang diriwayatkan Turmudzi dan Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda, “Apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan Allah adalah haram dan apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan Al-Thabrani)

Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua adalah mu’amalah, hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi itu menjadi batal berdasarkan syara’. Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Prinsip inipun didasarkan pada hadits Nabi Saw yang menyatakan, “Bahwasannya jual-beli hendaknya dilakukan dengan suka sama suka.”

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan menolak madharat bagi kehidupan manusia. Prinsip ini mengandung arti, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya merealisasi tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bila ternyata aktivitas ekonomi itu dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan manusia, maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan dan, bahkan, harus dilaksanakan. Namun bila sebaliknya, mendatangkan madharat, maka pada saat itu pula harus dihentikan.

Prinsip ketiga itu secara umum didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Rahmat dalam ayat ini bisa diartikan dengan menarik manfaat dan menolak madharat (jalb al-manfa’ah wa daf al-madharah). Makna ini secara substansial seiring dengan yang ditunjukkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185, yang menyatakan, Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan kesulitan (musyaqah) dan surat An-Nisa’ ayat 28, “Allah menghendaki supaya meringankan bagimu, karena manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.”

Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi harus terhindar dari unsur gharar, dzhulm, riba’ dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’. Syariat Islam membolehkan setiap aktivitas ekonomi di antara sesama manusia yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran (haq), keadilan, menegakkan kemaslahatan manusia pada ketentuan yang dibolehkan Allah Swt. Sehubungan dengan itu, Syariat Islam mengharamkan setiap aktivitas ekonomi yang bercampur dengan kedzaliman, penipuan, muslihat, ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang diharamkan dan dilarang Allah Swt.

Gharar artinya tipuan, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan juga merupakan bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah) yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan kemadharatan dan meniadakan kemaslahatan manusia.

Sedangkan aktivitas ekonomi yang mengandung unsur zhulm (kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila dilakukan dapat merugikan pihak lain, seperti menumpuk-numpuk harta (ihtikar) yang dapat mengganggu mekanisme pasar, jual-beli yang mengandung unsur spekulasi seperti jual-beli munabadzah (jual-beli dengan cara saling melempar).

Adapun riba’ adalah satu tambahan atas pokok harta dalam urusan pinjam-meminjam. Terdapat beberapa sebab, mengapa riba’ diharamkan. Pertama, karena Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam Al-Hadits jelas-jelas menyatakan, riba’ diharamkan. Kedua, karena esensi riba’ adalah perilaku orang untuk mengambil harta milik orang lain dengan tidak seimbang. Ketiga, bisa menyebabkan orang malas untuk berusaha, karena selalu mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha yang riil. Keempat, karena dengan adanya riba’ bisa menyebabkan hilangnya berbuat baik terhadap sesama manusia.

Dari uraian tersebut dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam tersebut. Bila kativitas ekonomi itu tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip Hukum Ekonomi Islam, maka akan tergolong pada aktivitas ekonomi yang ghayr al-shahih, baik bathil atau fasad. Pemenuhan prinsip-prinsip itu dalam rangka menciptakan aktivitas ekonomi yang dapat menegakkan kebenaran, keadilan, kemurahan, dan kerelaan. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat disimpulkan, prinsip Hukum Ekonomi Islam ini pada hakikatnya adalah menegakkan kebenaran (shidq), keadilan (‘adalah), kemurahan (samahah), dan kerelaan (taradhi), Wallaahu a’lam.

Sumber: 

2 comments: